Lompat ke isi utama

Berita

Reformasi 1998: Gerbang Demokrasi Baru

Reformasi 1998: Gerbang Demokrasi Baru

Reformasi 1998: Gerbang Demokrasi Baru 

Reformasi merupakan kata yang sakral–setidaknya bagi rakyat Indonesia yang telah mengalami pahit asamnya rezim orde baru selama kurang lebih 32 Tahun. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), reformasi berarti perubahan secara drastis untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama) dalam suatu masyarakat atau negara. Era Reformasi 1998 yang dimotori oleh aktivis mahasiswa yang secara kolektif berjuang bersama rakyat untuk melakukan perubahan besar-besaran terutama dalam mekanisme penyelenggaraan negara menuju ke arah demokrasi substantif ditandai dengan lahirnya lengsernya rezim otoriter.

Makna “perbaikan” dalam “reformasi” dapat diartikan bahwa ada tujuan besar dalam memperbaiki sistem pemilu sebelumnya yang dinilai tidak sejalan dengan semangat demokrasi Republik Indonesia sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Gelombang demonstrasi mahasiswa, desakan rakyat di berbagai daerah, dan tekanan sosial-ekonomi yang menumpuk akhirnya memaksa Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998. Momentum itu menandai berakhirnya era Orde Baru yang telah berkuasa selama lebih dari tiga dekade — sebuah rezim yang dikenal dengan sentralisasi kekuasaan, pembatasan kebebasan berpendapat, dan lemahnya mekanisme pengawasan kekuasaan.

Reformasi bukan hanya pergantian rezim, melainkan perubahan sistemik dalam penyelenggaraan negara. Dari sinilah lahir berbagai amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) antara tahun 1999–2002 yang menjadi fondasi demokrasi modern Indonesia.

Beberapa prinsip penting yang lahir dari amandemen itu antara lain:

  • Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 1 ayat 2 UUD 1945).

  • Negara Indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 ayat 3).

  • Hak warga negara untuk menyatakan pendapat dijamin oleh konstitusi (Pasal 28E ayat 3).

  • Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Pasal 22E).

Sebagai pelaksanaan prinsip tersebut, lahirlah lembaga-lembaga demokrasi yang bersifat mandiri dan non-partisan, termasuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Pembentukan Bawaslu diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 dan kini diperkuat melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang menegaskan bahwa Bawaslu bertugas mengawasi seluruh tahapan pemilu agar berjalan jujur, adil, transparan, dan bebas dari kecurangan.

Namun, tantangan Reformasi belum usai. Politik uang, manipulasi informasi, dan penyalahgunaan kekuasaan masih menghantui perjalanan demokrasi. Politik uang, sebagaimana diatur dalam Pasal 515 dan 523 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, merupakan tindak pidana pemilu yang mengancam integritas suara rakyat. Jika dibiarkan, praktik ini perlahan mengikis makna kedaulatan rakyat dan membuka jalan bagi munculnya kembali sistem kekuasaan yang otoriter, bukan dengan paksaan senjata, tetapi dengan pembelian suara dan manipulasi kehendak rakyat. Karena itu, merawat Reformasi berarti menjaga nurani bangsa dan menegakkan hukum pemilu. Masyarakat memiliki peran sentral dalam mengawal demokrasi: melapor jika ada pelanggaran, menolak politik uang, serta ikut mengawasi proses pemilihan. Bawaslu hadir sebagai mitra rakyat, bukan semata lembaga negara. Bersama masyarakat, Bawaslu memastikan setiap suara rakyat dihitung dengan benar, setiap pelanggaran ditindak, dan setiap proses pemilu berjalan sesuai prinsip LUBER dan JURDIL.